Ini karya cerpenku dari tugas bahasa Indonesia. Entah apa yang ada di otakku, tiba-tiba muncul satu cerita yang sebelumnya belum pernah aku rencanakan.
Jika diantaramu tak bisa hidup tanpa hari
Aku pun tak jauh berbeda dengan kalian
Hari yang nyata untukku
Hari-ku akan selalu pada bulan
Satu bulan yang sama dengan satu pelangi di tengah remang
Satu nyawaku yang tak bisa tergantikan
Hari-ku kini mati
Aku kehilangan Hari dan harmoni
Yang tertinggal hanya lagu dan kertas
Tak ada yang bisa menggantikan Hari
Karena bagiku
Hanya ada satu Hari
Di duniaku
Di hidupku
Tiba-tiba aku mengimajinasikan masa dimana aku dan Hari pertama ada untuk berdua. Kami tak pernah duduk berdua. Kami tak pernah bersua muka. Kami mengenal dari hati. Hari lebih mengenalku katanya. Mengawali semuanya dia memberiku sebuah lagu “Harmoni” dari sebuah kumpulan manusia yang membentuk satu kelompok band. Mereka memperkenalkan dirinya sebagai ‘Padi’. Makna dari nada-nada lagu ‘Harmoni’ tak jauh berbeda dengan kisah kami. Kami sahabat. Dekat. Saling menyampah. Saling berpetuah. Dia menyebut hubungan kami seperti harmoni. Indah. Lepas dari gundah. Aku kira itu benar. Masa-nya pun tak terelakkan untuk berjalan. Senada dengan itu harmoni kami semakin menguat. Bukan sebuah janji yang terucap dari aku dan Hari. Bagi kami cinta tak harus memiliki. Cinta juga tak harus menyakiti. Kami bersepakat untuk meyakininya. Keputusan akhir kami adalah mengunci hati untuk saling mengisi. Selain diisi dengan persahabatan.
Aku dan Hari tak jauh. Tak ada batas padat untuk kami. Kesempatanlah yang membatasinya. Bukan berarti kami tak habis pikir. Sosialisasi tetap terjalin. Guna apa kertas dan pena diciptakan. Dengan mereka kami berinteraksi. Memang benar aku hanya berinteraksi dengan media kertas dan dua tanganku. Di kertas-kertas inilah sampah dan petuah kami bercerita. Satu-satunya mediator berkorelasinya suratan kami adalah satu pohon kecil bawah bukit yang setiap sore dia akan bercerita lewat tulisannya. Kemudian di pagi hari, aku yang bercerita. Kami yakin di waktu malam saat kami saling bercandu rindu kami melihat satu bulan yang sama. Seterang dan seindah. Di saat itu kami benar-benar merasa duduk berdua. Jarak antara aku dan Hari ketika menatap bulan, dihubungkan dengan satu pelangi. Yaitu pelangi di malam hari dengan Hari.
Aku pernah berpikir mengapa namanya harus ‘Hari’, kenapa bukan ‘Andi’, ‘Joko’, atau ‘Paijo’ sekalipun. Hanya satu yang dia jawab “Kucukupkan rasa syukurku hidup di dunia ini dengan nama apapun, jika selain nama yang kusandang sekarang, mungkin bundaku tak akan pernah lahir karena tak memberi namaku Hari”. Tak sejauh itu aku berpikir untuk menjawabnya. Namanya memang wajar. Menyenangkan. Tapi dia tak sekalipun mengkritik namaku. Baginya nama ‘Dewi’ cukup menggambarkan parasku yang kata Hari tak terlalu cantik tapi menyenangkan. Seperti dewi yang turun dari atas bukit. Biarlah tempat tinggalku diatas bukit. Bagiku mengenalnya lebih menyenangkan dari rumahku yang di atas bukit.
Sisi menyenangkan dari Hari adalah menerima dengan keapaadaannya atas diriku. Aku yang tanpa suara. Aku yang tak yakin akan diriku sendiri. Aku yang terdiskriminasikan sebagian umat. Karena aku adalah Dewi yang tak sesempurna dewi kayangan. Dia yang mengenalkanku pada sebuah harmoni. Dia yang menggairahkan semangatku untuk bernafas di dunia. Dia yang menyuarakan hatiku untuk menggumam kata cinta. Dan dia yang menjatuhkanku pada cinta. Dialah satu-satunya Hari. Hariku di dunia tak akan lebih hidup tanpa adanya Hari. Hari-ku hanya ada satu. Setiap hari aku bisa memiliki Hari. Setiap hari, Hari menggetarkanku pada cinta yang kini benar-benar tumbuh di kanvas hatiku. Dia yang menyiramkannya dengan sebuah kata. Terangkai sebagai kalimat petuah. Selalu dan selamanya hidup. Seandainya aku memiliki suara untuk mengatakan bahwa aku mencintainya. Tapi Tuhan, itu terlalu tinggi bagiku.
Seakan nyata dan maya ini tanpa batas. Kini Hari-ku tiada. Saat itu aku tak cukup bersyukur bisa hidup tanpa suara. Aku ingin histeris. Tapi yang aku bisa hanya menangis. Kemana lagi aku harus mencari kata petuah. Pada siapa lagi aku harus membuang sampah sakitku. Siapa lagi yang akan tulus menerimaku sebagai manusia tanpa suara. Aku kehilangan Hari. Aku kehilangan satu bulan dan pelangi malam hari. Aku kehilangan harmoni. Tapi lagunya masih hidup dan terngiang. Kini tujuh hariku tanpa Hari. Kini tujuh hariku tanpa tulisan Hari. Tapi tujuh hari tak akan pernah menggantikan satu Hari-ku. Candu rindu pada Hari tak akan pernah dapat terehabilitasi. Karena dalam hidupku hanya ada satu Hari.
Jombang, 7 Oktober 2011
Haifa Hannum Arija Wildienah
Baris ke-10 dari XII IPS 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar